Kekurangan Energi Protein (KEP)
PENGERTIAN
KURANG ENERGI PROTEIN (KEP)
Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang
yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya komsumsi energi dan protein
dalam makanan sehari-hari atau gangguan
penyakit –penyakit tertentu. Anak tersebut kurang energi protein (KEP) apabila
berat badanya kurang dari 80 % indek berat badan/umur.
Kurang energi protein (KEP) yaitu seseorang
yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi protein dalam
makan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu sehingga tidak memenuhi
angka kecukupan gizi (AKG). Kurang energy protein merupakan keadaan kuang gizi
yang disebakan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari
sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi.
KEP itu sendiri dapat digolongkan menjadi KEP
tanpa gejala klinis dan KEP dengan gejala klinis. Secara garis besar tanda
klinis berat dari KEP adalah Marasmus, Kwashiorkor, dan Marasmus-Kwashiorkor.
Beberapa tipe Kurang Energi Protein (KEP)
dapat disebutkan, bahwa KEP atau gizi buruk pada tingkat ringan atau sedang,
belum menunjukkan gejala sakit. Masih seperti anak-anak lain, masih bermain dan
sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai kurus. Sedangkan
bagi KEP yang tingkat berat yang disertai dengan gejala klinis disebut marasmus
atau kwashiorkor, dimasyarakat lebih dikenal sebagai “busung lapar”.
Jika kondisi KEP cukup berat dikenal dengan
istilah marasmus dan kwashiorkor, masing-¬masing dengan gejala yang khas,
dengan kwashiorkor dan marasmik ditengah-tengahnya. Pada semua derajat maupun
tipe KEP ini terdapat gangguan pertumbuhan disamping gejala-gejala klinis
maupun biokimiawi yang khas bagi tipenya. Klasifikasi KEP digunakan untuk
menentukan prevalensi KEP disuatu daerah dengan melihat derajat beratnya KEP,
hingga dapat ditentukan persentase gizi kurang dan berat di daerah tersebut.
ETIOLOGI
KURANG ENERGI PROTEIN (KEP)
Penyebab langsung dari KEP adalah defisiensi
kalori maupun protein dengan berbagai gejala-gejala. Sedangkan penyebab tidak
langsung KEP sangat banyak sehingga penyakit ini sering disebut juga dengan
kausa multifaktorial. Salah satu penyebabnya adalah keterkaitan dengan waktu
pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan makanan tambahan setelah disapih.
Selain itu, KEP merupakan penyakit
lingkungan, karena adanya beberapa factor yang bersama-sama berinteraksi
menjadi penyebab timbulnya penyakit ini, antara lain yaitu factor diet, factor
social, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan, dan lain-lain. Peran diet
menurut konsep klasik terdiri dari dua konsep. Pertama yaitu diet yang
mengandung cukup energy, tetapi kurang protein akan menyebabkan anak menjadi
penderita kwashiorkor, sedangkan konsep yang kedua adalah diet kurang energy
walaupun zat gizi (esensial) seimbang akan menyebabkan marasmus. Peran factor
social, seperti pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah
turun temurun dapat mempengaruhi terjadinya KEP. Ada pantangan yang berdasarkan
agama, tetapi ada juga pantangan yang berdasarkan tradisi yang sudah turun
temurun, tetapi kalau pantangan tersebut berdasarkan agama, maka akan sulit
untuk diatasi. Jika pantangan berdasarkan pada kebiasaan atau tradisi, maka
dengan pendidikan gizi yang baik dan dilakukan dengan terus-menerus hal ini
akan dapat diatasi.
KEP pada dasarnya sangat ditentukan oleh 2
faktor. Factor-faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi terjadinya KEP
pada balita adalah makanan dan ada atau tidaknya penyakit infeksi. Kedua factor
ini dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh seorang
anak, antara lain ditentukan oleh beberapa factor penyebab tidak langsung,
yaitu :
1. zat-zat gizi
yang terkandung di dalam makanan
2. daya beli
keluarga, meliputi penghasilan, harga bahan makanan dan pengeluaran keluarga
untuk kebutuhan lain selain makanan
3. kepercayaan
ibu tentang makanan serta kesehatan
4. ada atau
tidaknya pemeliharaan kesehatan termasuk kebersihan
5. fenomena
social dan keadaan lingkungan.
Menurut Departemen Kesehatan RI dalam tata
buku pedoman Tata Laksana KEP pada anak di puskesmas dan di rumah tangga, KEP
berdasarkan gejala klinis ada 3 tipe yaitu KEP ringan, sedang, dan berat (gizi
buruk). Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak
tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat
dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.
Salah satu sebab yang mengakibatkan
terjadinya marasmus adalah kehamilan berturut-turut dengan jarak kehamilan yang
masih terlalu dini. Selain itu marasmus juga disebabkan karena pemberian
makanan tambahan yang tidak terpelihara kebersihannya serta susu buatan yang
terlalu encer dan jumlahnya tidak mencukupi karena keterbatasan biaya, sehingga
kandungan protein dan kalori pada makanan anak menjadi rendah. Keadaan
perumahan dan lingkungan yang kurang sehat juga dapat menyebabkan penyajian
yang kurang sehat dan kurang bersih. Demikian juga dengan penyakit infeksi
terutama saluran pencernaan. Pada keadaan lingkungan yang kurang sehat, dapat terjadi
infeksi yang berulang sehingga menyebabkan anak kehilangan cairan tubuh dan
zat-zat gizi sehingga anak menjadi kurus serta turun berat badannya.
Kwashiorkor dapat ditemukan pada anak-anak
yang setelah mendapatkan ASI dalam jangka waktu lama, kemudian disapih dan
langsung diberikan makan seperti anggota
keluarga yang lain. Makanan yang diberikan pada umumnya rendah protein.
Kebiasaan makan yang kurang baik dan diperkuat dengan adanya tabu seperti
anak-anak dilarang makan ikan dan memprioritaskan makanan sumber protein hewani
bagi anggota keluarga laki-laki yang lebih tua dapat menyebabkan terjadinya
kwashiorkor. Selain itu tingkat pendidikan orang tua yang rendah dapat juga
mengakibatkan terjadinya kwashiorkor karena berhubungan dengan tingkat pengetahuan
ibu tentang gizi yang rendah.
Menurut Ngastiyah, 1997 faktor-faktor
penyebab kurang energi protein dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Primer =
Susunan makanan yang salah, Penyedia makanan yang kurang baik, Kemiskinan,
Ketidaktahuan tentang nutrisi, Kebiasan makan yang salah.
2. Sekunder = Gangguan
pencernaan (seperti malabsorbsi, gizi tidak baik, kelainan struktur saluran) dan Gangguan
psikologis.
PENYEBAB KEKURANGAN
ENERGI PROTEIN (KEP)
Penyebab langsung adalah asupan gizi dan
penyakit infeksi. Timbulnya KEP tidak hanya karena makanan yang kurang tetapi
juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering
menderita diare atau demam, akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga
pada anak yang makanannya tidak cukup (jumlah dan mutunya) maka daya tahan
tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian akan mudah diserang infeksi yang
dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang gizi/gizi buruk.
Penyebab tidak langsung adalah ketahanan
pangan tingkat keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan
kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga (household food security)
adalah kemampuan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup
baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan
masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar
dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial.
Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan
sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang
membutuhkan. Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga factor penyebab tidak
langsung saling berkaitan dengan tingkat pendidikan,pengetahuan, dan
keterampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan
kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola
pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan
yang ada, demikian juga sebaliknya.
Ketahanan pangan keluarga terkait dengan
ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau
sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang
gizi dan kesehatan. Sebagai contoh, air susu ibu (ASI) adalah makanan bayi
utama yang seharusnya tersedia di setiap keluarga yang mempunyai bayi. Makanan
ini seharusnya dapat dihasilkan oleh keluarga tersebut sehinggatidak perlu dibeli.
Namun tidak semua keluarga dapat
memberikan ASI kepada bayinya oleh karena berbagai masalah yang dialami ibu.
Akibatnya, bayi tidak diberikan ASI atau diberi ASI dalam jumlah yang tidak
cukup sehingga harus diberikan tambahan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Timbul
masalah apabila oleh berbagai sebab, misalnya kurangnya pengetahuan dan atau
kemampuan, MP-ASI yang diberikan tidak memenuhi persyaratan. Dalam keadaan
demikian, dapat dikatakan ketahanan pangan keluarga ini rawan karena tidak
mampu memberikan makanan yang baik bagi bayinya sehingga berisiko tinggi
menderita gizi buruk.
Pola pengasuhan anak berupa sikap dan
perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan
makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya
berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status
gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak
yang baik, peran dalam keluarga atau dimasyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari,
adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari si ibu atau
pengasuh anak.
Pelayanan kesehatan, adalah akses atau
keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan
pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan
persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana
kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter,
rumah sakit, dan pesediaan air bersih. Tidak terjangkaunya pelayanan kesehatan
(karena jauh dan atau tidak mampu membayar), kurangnya pendidikan dan
pengetahuan merupakan kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik
pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status
gizi anak.
Berbagai faktor langsung dan tidak langsung
penyebab gizi kurang, berkaitan dengan pokok masalah yang ada di masyarakat dan
akar masalah yang bersifat nasional. Pokok masalah di masyarakat antara lain
berupa ketidakberdayaan masyarakat dan keluarga mengatasi masalah kerawanan
ketahanan pangan keluarga, ketidaktahuan pengasuhan anak yang baik, serta
ketidakmampuan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia.
JENIS-JENIS
KEKURANGAN ENERGI PROTEIN ( KEP )
1. KWASHIORKOR
Kwashiorkor merupakan keadaan kekurangan
nutrisi terutama kekurangan protein. Umumnya keadaan ini terjadi akibat
kurangnya asupan gizi yang sering terjadi di negara berkembang atau pada daerah
yang mengalami embargo politik. Daerah yang sangat terpencil juga merupakan
salah satu faktor terjadinya kondisi kwashiorkor.
Individu yang mengalami kwashiorkor dapat
mengalam berbagai macam manifestasi atau gejala antara lain: penurunan berat
badan, penurunan massa otot, diare, lemah lesu, perut buncit, bengkak pada
tungkai, perubahan warna rambut, dan lain-lain. Seperti yang kita ketahui
protein berfungsi dalam pembentukan enzim-enzim penting dalam tubuh. Kurangnya
protein mengakibatkan kurangnya enzim tersebut. Pada anak kecil seringkali
terjadi intoleransi laktosa akibat enzim pencernaan yang kurang dan hal ini
mengakibatkan terjadinya diare pada anak-anak kurang energi protein.
Pada individu yang mengalami keadaan ini,
pemberian makanan haruslah dilakukan.secara bertahap. Zat makanan pertama yang
perlu diberikan adalah karbohidrat karena karbohidrat merupakan sumber utama
pembentukan energi oleh tubuh. Setelah itu barulah lemak dan protein diberikan.
Penatalaksanaan yang baik akan menyelamatkan nyawa anak tersebut namun efek
gangguan perkembangan anak yang telah terjadi belum tentu akan pulih dan
umumnya akan menetap. Keadaan kwashiorkor merupakan suatu keadaan bahaya yang
dapat menyebabkan kematian oleh karena itu usaha promotif dan preventif adalah
yang utama.
Pencegahan agar anak terhindar dari
kwashiorkor adalah cukup mudah, tidak perlu ada obat-obatan yang wajib
dikonsumsi. Pemberian makanan dengan komposisi yang baik sudah dapat “menjamin”
bahwa anak tersebut tidak akan jatuh ke keadaan kwashiorkor. Karbohidrat harus
merupakan sumber energi yang utama selain lemak (10% asupan), dan protein
(12%).
2. MARASMUS
Kekurangan energi marasmus merupakan suatu
keadaan kekurangan energi protein akibat rendahnya asupan karbohidrat. Keadaan
ini acapkali ditemukan dan angka kejadiannya mencapai 49% pada kurang lebih 10
juta anak di bawah 5 tahun yang mengalami kematian di negara berkembang, sedangkan
di negara maju angka kejadiannya tidak begitu tinggi.
Adanya kondisi fisik yang tidak baik
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kekurangan karbohidrat pada
anak-anak. Kondisi fisik tersebut antara lain adalah penyakit jantung bawaan,
retardasi mental, penyakit kanker, infeksi kronis, keadaan yang mengharuskan
anak dirawat lama di rumah sakit. Anak akan tampak lesu dan tidak bersemangat,
diare kronis, berat badan tidak bertambah.
Pemeriksaan untuk mengetahui apakah anak
menderita marasmus dapat dilakukan melalui pengukuran tebal lipat lemak pada
lengan atas, perut. Pemeriksaan ini memiliki keterbatasan karena rata-rata anak
berusia di bawah 5 tahun memiliki tebal lipat lemak pada lengan atas yang tidak
jauh berbeda.
Penelitian di Nigeria menunjukkan hal yang
menarik dimana kadar kolesterol anak yang menderita marasmus lebih tinggi
daripada anak yang menderita kwashiorkor. Alasan mengapa hal ini dapat terjadi
masih belum dapat dijelaskan dengan baik.
Kekurangan energi protein pada anak-anak merupakan
suatu keadaan bahaya yang perlu dilakukan tindakan segera. Kekurangan energi
protein ini mengakibatkan perubahan komposisi tubuh, perubahan anatomi dan
metabolisme tubuh yang bisa permanen jika tidak ditatalaksana dengan segera.
3. MARASMUS KWASHIORKOR
Pada kekurangan energi marasmus kwashiorkor
terdapat kekurangan energi kalori maupun protein. Mengapa ada anak yang jatuh
ke dalam keadaan kwashiorkor, marasmus, atau marasmus kwashiorkor masih belum
jelas dan masih membutuhkan penelitian yang lebih lanjut. Namun semua
bentukkekurangan energi protein pada anak-anak ini disebabkan oleh asupan
makanan bergizi yang tidak adekuat atau adanya kondisi fisik tubuh yang
mengakibatkan makanan yang dikonsumsi tidak dapat diserap dan digunakan oleh
tubuh selain adanya keadaan metabolisme yang meningkat yang disebabkan mungkin
oleh penyakit kronis atau penyakit keganasan.
KLASIFIKASI
KURANG ENERGI PROTEIN (KEP)
Untuk tingkat puskesmas penentuan KEP yang
dilakukan dengan menimbang berat badan anak dibanding dengan umur dan
menggunakan KMS dan tabel BB/U Baku Median WHO – NCHS.
1. KEP ringan
bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita kuning
2. KEP sedang
bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak di Bawah Garis Merah
(BGM).
3. KEP
berat/gizi buruk bila hasil penimbangan BB/U < 60 % baku median WHO-NCHS.
Pada KMS tidak ada garis pemisah KEP berat/gizi buruk dan KEP sedang, sehingga
untuk menentukan KEP berat/gizi buruk digunakan tabel BB/U Baku median
WHO-NCHS.
Keuntungan penggunaan baku WHO-NCHS adalah
dapat terhindar dari kekeliruan interpretasi karean baku WHO-NCHS sudah dapt
membedakn jenis kelamin dan lebih memperhatikan keadaan masa lampau.
Kelemahannya adalah apabila umur tidak diketahui dengan pasti maka akan sulit
digunakan, kecuali untuk indeks BB/TB.
GEJALA
KLINIS BALITA KEP BERAT/GIZI BURUK
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis
yang ditemukan hanya anak tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk
secara garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor atau
marasmickwashiokor.Tanpa mengukur/melihat BB bila disertai oudema yang bukan
karena penyakit lain adalah KEP berat/gizi buruk tipe kwashiorkor.
1. KWASHIOKOR
a. Oudema,umumnya
seluruh tubuh,terutama pada pada punggung kaki (dorsum pedis )
b. Wajah
membulat dan sembab
c. Pandangan
mata sayu
d. Rambut
tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa
sakit,rontok
e. Perubahan
status mental, apatis dan rewel
f. Pembesaran
hati
g. Otot
mengecil(hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk
h. Kelainan kulit
berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman
dan terkelupas
i. Sering
disertai penyakit infeksi, umumnya akut,anemia dan diare.
2. MARASMUS
a. Tampak
sangat kurus,tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah
seperti orang tua
c. Cengeng rewel
d. Kulit
keriput,jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (pakai celana
longgar )
e. Perut cekung
f. Iga gambang
g. Sering
disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang), diare kronis atau
konstipasi/susah buang air.
3. MARASMIK-
KWASHIORKOR
Gambaran klinik merupakan campuran dari
beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U< 60 % baku
median WHO-NCHS disertai oedema yang tidak mencolok.
FAKTOR –
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SOSIAL EKONOMI TEHADAP BALITA KURANG ENERGI PROTEIN
(KEP)
1. Pendapatan
Keluarga Perkapita
Komsumsi makanan yang berkurang sering
dialami oleh penduduk yang berpendapatan rendah.Hal ini disebabkan oleh daya
beli keluarga yang rendah. Pendapatan keluarga akan mempengaruhi pola
pengeluaran komsumsi keluarga. Tingkat pendapatan yang nyata dari keluarga
menentukan jumlah dan kualitas makanan yang diperoleh.
2. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis
yang berlangsung seumur hidup dalam rangka mengalihkan pengetahuan oleh
seseorang kepada orang lain. Pendidikan terutama pendidikan ibu berpengaruh
sangat kuat terhadap kelangsungan anak dan bayinya. Pada masyarakat dengan rata
–rata pendidikan rendah menunjukan prevalensi gizi kurang yang tinggi dan sebaliknya
pada masyarakat yang pendidikannya cukup tinggi prevalensi gizi kurangnya
rendah.
Ibu yang pendidikan tinggi akan memilih jenis
dan jumlah makanan untuk keluarga dengan mempertimbangan syarat gizi disamping
mempertimbangkan factor selera oleh karena itu ibu rumah tangga pada umumnya
yang mengatur dan menentukan segala urusan makanan dan kebutuhan keluarga.
Seseorang yang pendidikannya lebih tinggi
mempunyai pengertian yang lebih baik akan kesehatan gizi dengan menangkap
informasi dan menafsirkan informasi tersebut guna kelansungan hidupnya lebih –
lebih pada jaman kemajuan ilmu tehnologi.Dengan berbekal pendidikan yang cukup
seseorang ibu akan lebih banyak memperoleh informasi serta lebih tanggap
terhadap permasalahan yang dihadapi.Dengan demikian mereka dapat memilih serta
menentukan aternatif lebih baik untuk kepentingan rumah tangganya termasuk
dalam menentukan pemberian makanan bagi balita yang ada dirumah tangga tersebut.
3. Pekerjaan
Anak nelayan tradisional mempunyai resiko
menjadi kurang gizi tiga kali lebih besar dibanding pada anak peternak, petani
pemilik lahan, ataupun tenaga kerja terlatih. Hal penelitian ini juga
menunjukan bahwa pengelompokan pekerjaan yang terlalu umum misalnya nelayan
saja bisa mengatur pertumbuhan peranan factor pekerjaan orang tua terhadap
resiko anak mereka untuk menderita kurang gizi, resiko kurang gizi pada anak
nelayan tradisional tiga kali lebih besar dibanding anak nelayan yang punya
perahu bermotor. Efek ganda ( interaksi ) dari berbagai faktor sosial ekonomi
dalam menyebabkan jatuhnya seorang anak pada keadaan kurang gizi perlu diperhitungkan.
4. Keadaan
Sanitasi Lingkungan
Faktor utama yang mempengaruhi kesehatan anak
dan juga kesehatan orang dewasa adalah tersedianya air bersih dan sanitasi yang
aman. Semua ini bukan saja penting untuk kesehatan dan kesejahteraan
manusia,tetapi juga sangat membantu bagi eman sipasi kaum wanita dari beban
kerja berat yang mempunyai dampak yang merusak terhadap anak – anak, terutama
anak- anak perempuan. Kemajuan dalam kesehatan anak tidak mungkin dipertahankan
jika sepertiga dari anak- anak didunia ketiga tetap tidak menikmati sarana
sanitasi yang layak.
Penyebab langsung adalah asupan gizi dan
penyakit infeksi. Timbulnya KEP tidak hanya karena makanan yang kurang tetapi
juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering
menderita diare atau demam, akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga
pada anak yang makanannya tidak cukup (jumlah dan mutunya) maka daya tahan
tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian akan mudah diserang infeksi yang
dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang gizi/gizi
buruk.
Penyebab tidak langsung adalah ketahanan
pangan tingkat keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan
kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga (household food security)
adalah kemampuan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup
baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan
masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar
dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial.
Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan
sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang
membutuhkan. Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga factor penyebab tidak
langsung saling berkaitan dengan tingkat pendidikan,pengetahuan, dan
keterampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan
kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola
pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan
yang ada, demikian juga sebaliknya.
PROGRAM
PENANGGULANGAN KEP
Pelayanan gizi balita KEP pada dasarnya
setiap balita yang berobat atau dirujuk ke rumah sakit dilakukan pengukuran
berat badan, tinggi badan dan lila untuk menentukan status gizinya, selain
melihat tanda-tanda klinis dan laboratorium. Penentuan status gizi maka perlu
direncanakan tindakan sebagai berikut :
1. Balita KEP
ringan, memberikan penyuluhan gizi dan nasehat pemberian makanan di rumah
(bilamana pasien rawat jalan, dianjurkan untuk memberi makanan di rumah (bayi
umur < 4 bulan) dan terus diberi ASI sampai 3 tahun.
2. Balita KEP
sedang = (a) Penderita rawat jalan : diberikan nasehat pemberian makanan dan
vitamin serta teruskan ASI dan pantau terus berat badannya. (b) Penderita rawat
inap : diberikan makanan tinggi energi dan protein, dengan kebutuhan energi
20-50% diatas kebutuhan yang dianjurkan (angka kecukupan gizi/AKG) dan diet
sesuai dengan penyakitnya.
3. Balita KEP
berat = harus dirawat inap di RS dan dilaksanakan sesuai pemenuhan kebutuhan
nutrisinya.
Kegiatan penanggulangan KEP balita meliputi :
1. Penjaringan
balita KEP yaitu kegiatan penentuan ulang status gizi balita beradsarkan berat
badan dan perhitungan umur balita yang sebenarnya dalam hitungan bulan pada
saat itu.Cara penjaringan yaitu balita dihitung kembali umurnya dengan tepat
dalam hitungan bulan, balita ditimbang berat badannya dengan menggunakan
timbangan dacin, berdasarkan hasil perhitungan umur dan hasil pengukuran BB
tersebut tentukan status gizi dengan KMS atau standar antropometri.
2. Kegiatan
penanganan KEP balita meliputi program PMT balita adalah program intervensi
bagi balita yang menderita KEP yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan zat
gizi balita gar meningkat status gizinya sampai mencapai gizi baik (pita hijau
dalam KMS), pemeriksaan dan pengobatan yaitu pemeriksaan dan pengobatan untuk
mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta guna diobati seperlunya
sehingga balita KEP tidak semakin berat kondisinya, asuhan
kebidanan/keperawatan yaitu untuk memberikan bimbingan kepada keluarga balita
KEP agar mampu merawat balita KEP sehingga dapat mencapai status gizi yang baik
melalui kunjungan rumah dengan kesepakatan keluarga agar bisa dilaksanakan
secara berkala, suplementasi gizi/ paket pertolongan gizi hal ini diberikan
untuk jangka pendek.
PENANGGULANGAN
KEKURANGAN ENERGI PROTEIN (KEP)
Adapun penanggulangan lainnya pada penderita
KEP yaitu :
1. Jangka
pendek
a. Upaya
pelacakan kasus melalui penimbangan bulanan di posyandu
b. Rujukan
kasus KEP dengan komplokasi pengakit di RSU
c. Pemberian
ASI Eklusif untuk bayi usia 0-6 bulan
d. Pemberian
kapsul vitamin A
e. Pemberian
makanan tambahan (PMP)
f. Pemulihan
bagi balita gizi buruk dengan lama pemberian 3 bulan
g. Memberikan
makanan pendamping ASI (MP-ASI) bagi balita keluarga miskin usia6-12 bulan
h. Promosi
makanan sehat dan bergizi
2. Jangkah
menengah
a. Revitalisasi
Posyandu
b. Revitalisasi
Puskesmas
c. Revitalisasi
Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
3. Jangkah
panjang
4. Pemberdayaan
masyarakat menuju Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)
5. Integrasi
kegiatan lintas sektoral dengan program penanggulangan kemiskinan dan ketahanan
pangan.
Penanggulangan Kekurangan Energi Protein (KEP
) juga dapat dilakukan dengan meningkatkan asupan protein. Secara umun dikenal
dua jenis protein yaitu protein yang berasal dari hewan dan protein nabati yang
berasal dari tumbuhan. Protein hewani dapat diperoleh dari berbagai jenis
makanan seperti ikan, daging, telur dan susu. Protein nabati terutama berasal
dari kacang-kacangan serta bahan makanan yang terbuat dari kacang.
Protein kacang-kacangan mempunyai nilai gizi
lebih rendah
dibandingkan dengan protein dari jenis daging
(protein hewani). Namun, kalau beberapa jenis protein nabati dikombinasikan
dengan perbandingan yang tepat, dapat dihasilkan campuran yang mempunyai nilai
kualitas protein lengkap. Selain itu, sumber protein nabati juga lebih murah
harganyadibandingkan dengan sumber protein hewani, sehingga dapat terjangkau
oleh daya beli sebagian masyarakat.
No comments for "Kekurangan Energi Protein (KEP)"
Post a Comment